Pada masanya, Indonesia pernah menjadi negara terdepan di dunia dalam penerapan Pengendalian Hama Terpadu. Namun posisi terhormat tersebut dapat dicapai hanya karena adanya dukungan politik yang sangat kuat dari pemerintah Orde Baru. Seiring dengan bergulirnya Reformasi yang mengakhiri pemerintahan Orde Baru pada 1998, Pengendalian Hama Terpadu di Indonesia mulai meredup. Tulisan ini menyajikan uraian mengenai keberhasilan, tantangan, dan kerkembangan PHT di Indonesia.
Uraian
Secara konseptual, PHT merupakan sistem perlindungan tanaman yang sangat ideal. Hal ini tidak mengherankan karena PHT sebagai konsep sesungguhnya tumbuh dari keprihatinan terhadap berbagai dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh penggunaan pestisida secara terus menerus maupun berlebihan. Menjawab keprihatinan tersebut, PHT dikembangkan atas dasar pertimbangan ekologis, pertimbangan ekonomis, dan pertimbangan sosial. Pertimbangan ekologis tampak dari konsep mengenai pelestarian musuh alami melalui penggunaan pestisida sebagai alternatif terakhir secara hati-hati, pertimbangan ekonomis melalui perhitungan mengenai biaya pelaksanaan perlindungan tanaman, dan pertimbangan sosial melalui pelaksanaan sekolah lapangan dan pengorganisasian petani dalam kelompok tani.
Kini PHT sudah menjadi sistem arus utama (mainstream) perlindungan tanaman. Dalam perkembangan PHT sebagai arus utama tersebut, Indonesia telah mencatat keberhasilan yang mendapat pengakuan dunia. Penerapan PHT di berbagai negara berkembang lainnya dilakukan dengan menggunakan pola penerapan di Indonesia, terutama penerapan melalui sekolah lapang (SLPHT). Di dalam negeri sendiri, PHT telah dinyatakan berhasil mengurangi penggunaan pestisida secara drastis sehingga anggaran pemerintah yang sebelumnya digunakan untuk mensubsidi pestisida kini dapat digunakan untuk tujuan lain. PHT juga telah memelopori penerapan sekolah lapang yang kini digunakan dalam pelaksanaan program pertanian lainnya. PHT telah tercatat di Indonesia sebagai keberhasilan sehingga sebagian orang menerima begitu saja, tanpa merasa perlu mempertanyakan, seakan-akan kekurangan PHT merupakan keniscayaan. Begitu banyak publikasi mengenai PHT yang menyanjung keberhasilan PHT di Indonesia, sementara yang mencoba mengkritisi begitu sedikit. Padahal, cobalah tanyakan kepada petani sayuran, misalnya petani sayuran di Desa Noelbaki, Kecamatan Kupang Tengah, Kabupaten Kupang, Provinsi NTT, bagaimana mereka melakukan perlindungan tanaman.
Di antara begitu banyak pakar yang memuji keberhasilan PHT, terdapat hanya sedikit yang tetap kritis. Di antaranya adalah A.P. Vayda dari Rutgers University dan I.H. Falk dari Charles Darwin University. Memang, kedua pakar ini tetap memuji PHT secara konseptual, tetapi kritis menyikapi keberhasilan pelaksanaannya. Menurut Vayda & Setyawati (1995), penurunan penggunaan pestisida sesungguhnya bukanlah karena PHT melainkan karena pemerintah mencabut subsidinya sehingga harga pestisida menjadi mahal dan tidak terjangkau petani. Maka, masih menurut Vayda & Setyawati (1995), PHT berhasil karena campur tangan kuat pihak pemerintah. Dalam bahasa kebijakan, PHT berhasil karena adanya dukungan politik, bukan semata-mata karena konsep PHT itu sendiri. Vayda (2009) juga mengkritik PHT sebagai lebih menitikberatkan pada pertimbangan ekologis dan ekonomis daripada pertimbangan sosial. Karena itu, Vayda (2009) menyimpulkan, jangan heran bila PHT akan perlahan-lahan menghilang manakala tidak lagi ada dukungan politik terhadap penerapannya. PHT, kata Vayda, bukanlah sekedar interaksi OPT dengan musuh alaminya sebagaimana yang diajarkan dalam SL-PHT, tetapi interaksi antar manusia (antar sesama petani, antara petani dengan konsumen, antara petani dengan pemerintah). PHT hanya menargetkan petani, sedangkan konsumen kurang mendapat perhatian. Akibatnya, karena tekanan konsumen yang lebih menginginkan produk bebas kerusakan oleh OPT daripada bebas residu pestisida maka petani yang sudah mengikuti SLPHT sekalipun akan kembali tergoda untuk menggunakan pestisida.
Kritik Falk terhadap PHT terfokus terutama pada aspek sosial penerapan PHT. PHT, menurut Falk, terlalu mengedepankan ilmu pengetahuan dan teknologi dan hanya sedikit memberikan perhatian pada aspek sosial, terutama dalam konteks modal sosial (social capital). Menurut Falk, masyarakat terikat sebagai kesatuan yang mencakup ikatan menyatukan (bonding ties) antar anggota masyarakat, ikatan menjembatani (bridging ties) antara anggota masyarakat dengan pihak luar, dan ikatan menautkan (linking ties) antar anggota masyarakat dalam kedudukan yang berbeda, misalnya antara orang biasa dengan tokoh masyarakat setempat. Pembentukan kelompok untuk kepentingan pengorganisasian PHT yang dilakukan secara kurang hati-hati bukan tidak mungkin menimbulkan gangguan terhadap ikatan-ikatan tersebut yang pada akhirnya bermuara pada penerapan PHT menjadi tidak berkelanjutan.
(a) (b)
Gambar 3.3. Melalui SL-PHT petani berdiskusi, membuat percobaan, dan belajar rumitnya interaksi antara OPT dengan musuh alaminya: (a) Kegiatan berdiskusi serta melakukan percobaan dan pengamatan dan (b) Gambar yang dibuat petani mengenai interaksi antara musuh alami dan OPT
(a) (b)
Gambar 3.4. Penggunaan dan subsidi pestisida kimiawi di Indonesia, benarkah berkurang hanya karena PHT? (a) Penggunaan pestisida dan produksi beras dan (b) Nilai subisi pestisida dalam USD. Sumber: Soejitno (1999).
PHT bersifat bukan hanya sektoral, melainkan sub-sektoral. Hal ini tersurat dari penggunaan istilah ‘hama’ dalam PHT. Penggunaan kata ‘hama’ menyebabkan PHT sukar dapat diterima di luar kalangan perlindungan tanaman. Karenanya, sekalipun sesuai dengan kosep PHT pemupukan N perlu dilakukan secara hati-hati karena dapat mengundang ledakan OPT, kalangan kesuburan tanah belum tentu dapat menerima begitu saja. Bagi kalangan perlindungan tanaman, tanaman sehat adalah tanaman yang kurang mengalami gangguan OPT, tetapi bagi kalangan lain tanaman sehat adalah tanaman yang tumbuh subur. Demikian juga dengan kepentingan pemasaran, hasil tanaman harus benar-benar bebas dari kerusakan oleh OPT padahal untuk hasil semacam itu diperlukan penggunaan banyak pestisida. Selain itu, pengambilan keputusan berdasarkan hasil pemantauan agro-ekosistem juga dipertanyakan. Pertanyaannya adalah, bila hasil pemantauan di satu agroekosistem menyatakan belum perlu dilakukan perlindungan tanaman, bagaimana bila hasil pemantauan di agro-ekosistem yang bertetangga menunjukkan justeru tindakan perlindungan tanaman harus segera dilakukan? Bukankah OPT merupakan mahluk hidup yang dapat berpindah dengan cepat sehingga diperlukan tindakan pengendalian bukan hanya ketika sudah ada tetapi seharusnya juga perlu diantisipasi sebelum ada? Lebih-lebih pada era globalisasi dan pasar bebas, cara berpikir yang cenderung sangat lokal ini perlu ditinjau kembali.
PHT memang perlu senantiasa dikritisi karena dengan cara begitu maka PHT dapat berkembang. Dalam sejarah penerapannya, PHT berkembang setidak-tidaknya dalam tiga fase penting:
Pada dua fase perkembangan PHT yang terakhir (fase 2 dan fase 3), pengambilan keputusan dapat dilakukan dengan berbasis pada pengambilan keputusan oleh petani maupun pengambilan keputusan berbasis sistem pakar. Perkembangan fase-fase PHT tersebut sekaligus mereflesikan berbagai kekurangan PHT yang senantiasa terus disempurnakan seiring dengan perkembangan.
Latihan
Jenis sayuran apakah yang biasanya dikonsumsi di rumah masing-masing? Tanyakan kepada ibu atau siapa saja yang biasa pergi berbelanja keperluan sehari-hari di pasar, bagaimana memilih sayuran yang baik. Apakah lebih baik memilih sayuran yang ada lubang berkas dimakan serangga atau yang tidak ada kerusakan sama sekali? Renungkan pertanyaan ini dengan mengaitkan uraian pada kegiatan belajar ini dengan kegiatan belajar 2 pada Modul 2.
Rangkuman
PHT mempunyai banyak kelebihan, tetapi juga tidak luput dari kekurangan dalam pelaksanaannya. Kesuksesan Indonesia dalam melaksanakan PHT, khususnya PHT-SL, telah mendapat pengakuan dunia. Namun demikian, kesuksesan tersebut sebenarnya bukan tanpa cacat. Kekurangan PHT, terutama dalam pelaksanaannya tersebut, terus diperbaiki sehingga PHT berkembang dari PHT-AE menjadi PHT-SL dan akhirnya PHT masarakat.
Uraian
Secara konseptual, PHT merupakan sistem perlindungan tanaman yang sangat ideal. Hal ini tidak mengherankan karena PHT sebagai konsep sesungguhnya tumbuh dari keprihatinan terhadap berbagai dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh penggunaan pestisida secara terus menerus maupun berlebihan. Menjawab keprihatinan tersebut, PHT dikembangkan atas dasar pertimbangan ekologis, pertimbangan ekonomis, dan pertimbangan sosial. Pertimbangan ekologis tampak dari konsep mengenai pelestarian musuh alami melalui penggunaan pestisida sebagai alternatif terakhir secara hati-hati, pertimbangan ekonomis melalui perhitungan mengenai biaya pelaksanaan perlindungan tanaman, dan pertimbangan sosial melalui pelaksanaan sekolah lapangan dan pengorganisasian petani dalam kelompok tani.
Kini PHT sudah menjadi sistem arus utama (mainstream) perlindungan tanaman. Dalam perkembangan PHT sebagai arus utama tersebut, Indonesia telah mencatat keberhasilan yang mendapat pengakuan dunia. Penerapan PHT di berbagai negara berkembang lainnya dilakukan dengan menggunakan pola penerapan di Indonesia, terutama penerapan melalui sekolah lapang (SLPHT). Di dalam negeri sendiri, PHT telah dinyatakan berhasil mengurangi penggunaan pestisida secara drastis sehingga anggaran pemerintah yang sebelumnya digunakan untuk mensubsidi pestisida kini dapat digunakan untuk tujuan lain. PHT juga telah memelopori penerapan sekolah lapang yang kini digunakan dalam pelaksanaan program pertanian lainnya. PHT telah tercatat di Indonesia sebagai keberhasilan sehingga sebagian orang menerima begitu saja, tanpa merasa perlu mempertanyakan, seakan-akan kekurangan PHT merupakan keniscayaan. Begitu banyak publikasi mengenai PHT yang menyanjung keberhasilan PHT di Indonesia, sementara yang mencoba mengkritisi begitu sedikit. Padahal, cobalah tanyakan kepada petani sayuran, misalnya petani sayuran di Desa Noelbaki, Kecamatan Kupang Tengah, Kabupaten Kupang, Provinsi NTT, bagaimana mereka melakukan perlindungan tanaman.
Di antara begitu banyak pakar yang memuji keberhasilan PHT, terdapat hanya sedikit yang tetap kritis. Di antaranya adalah A.P. Vayda dari Rutgers University dan I.H. Falk dari Charles Darwin University. Memang, kedua pakar ini tetap memuji PHT secara konseptual, tetapi kritis menyikapi keberhasilan pelaksanaannya. Menurut Vayda & Setyawati (1995), penurunan penggunaan pestisida sesungguhnya bukanlah karena PHT melainkan karena pemerintah mencabut subsidinya sehingga harga pestisida menjadi mahal dan tidak terjangkau petani. Maka, masih menurut Vayda & Setyawati (1995), PHT berhasil karena campur tangan kuat pihak pemerintah. Dalam bahasa kebijakan, PHT berhasil karena adanya dukungan politik, bukan semata-mata karena konsep PHT itu sendiri. Vayda (2009) juga mengkritik PHT sebagai lebih menitikberatkan pada pertimbangan ekologis dan ekonomis daripada pertimbangan sosial. Karena itu, Vayda (2009) menyimpulkan, jangan heran bila PHT akan perlahan-lahan menghilang manakala tidak lagi ada dukungan politik terhadap penerapannya. PHT, kata Vayda, bukanlah sekedar interaksi OPT dengan musuh alaminya sebagaimana yang diajarkan dalam SL-PHT, tetapi interaksi antar manusia (antar sesama petani, antara petani dengan konsumen, antara petani dengan pemerintah). PHT hanya menargetkan petani, sedangkan konsumen kurang mendapat perhatian. Akibatnya, karena tekanan konsumen yang lebih menginginkan produk bebas kerusakan oleh OPT daripada bebas residu pestisida maka petani yang sudah mengikuti SLPHT sekalipun akan kembali tergoda untuk menggunakan pestisida.
Kritik Falk terhadap PHT terfokus terutama pada aspek sosial penerapan PHT. PHT, menurut Falk, terlalu mengedepankan ilmu pengetahuan dan teknologi dan hanya sedikit memberikan perhatian pada aspek sosial, terutama dalam konteks modal sosial (social capital). Menurut Falk, masyarakat terikat sebagai kesatuan yang mencakup ikatan menyatukan (bonding ties) antar anggota masyarakat, ikatan menjembatani (bridging ties) antara anggota masyarakat dengan pihak luar, dan ikatan menautkan (linking ties) antar anggota masyarakat dalam kedudukan yang berbeda, misalnya antara orang biasa dengan tokoh masyarakat setempat. Pembentukan kelompok untuk kepentingan pengorganisasian PHT yang dilakukan secara kurang hati-hati bukan tidak mungkin menimbulkan gangguan terhadap ikatan-ikatan tersebut yang pada akhirnya bermuara pada penerapan PHT menjadi tidak berkelanjutan.
(a) (b)
Gambar 3.3. Melalui SL-PHT petani berdiskusi, membuat percobaan, dan belajar rumitnya interaksi antara OPT dengan musuh alaminya: (a) Kegiatan berdiskusi serta melakukan percobaan dan pengamatan dan (b) Gambar yang dibuat petani mengenai interaksi antara musuh alami dan OPT
(a) (b)
Gambar 3.4. Penggunaan dan subsidi pestisida kimiawi di Indonesia, benarkah berkurang hanya karena PHT? (a) Penggunaan pestisida dan produksi beras dan (b) Nilai subisi pestisida dalam USD. Sumber: Soejitno (1999).
PHT bersifat bukan hanya sektoral, melainkan sub-sektoral. Hal ini tersurat dari penggunaan istilah ‘hama’ dalam PHT. Penggunaan kata ‘hama’ menyebabkan PHT sukar dapat diterima di luar kalangan perlindungan tanaman. Karenanya, sekalipun sesuai dengan kosep PHT pemupukan N perlu dilakukan secara hati-hati karena dapat mengundang ledakan OPT, kalangan kesuburan tanah belum tentu dapat menerima begitu saja. Bagi kalangan perlindungan tanaman, tanaman sehat adalah tanaman yang kurang mengalami gangguan OPT, tetapi bagi kalangan lain tanaman sehat adalah tanaman yang tumbuh subur. Demikian juga dengan kepentingan pemasaran, hasil tanaman harus benar-benar bebas dari kerusakan oleh OPT padahal untuk hasil semacam itu diperlukan penggunaan banyak pestisida. Selain itu, pengambilan keputusan berdasarkan hasil pemantauan agro-ekosistem juga dipertanyakan. Pertanyaannya adalah, bila hasil pemantauan di satu agroekosistem menyatakan belum perlu dilakukan perlindungan tanaman, bagaimana bila hasil pemantauan di agro-ekosistem yang bertetangga menunjukkan justeru tindakan perlindungan tanaman harus segera dilakukan? Bukankah OPT merupakan mahluk hidup yang dapat berpindah dengan cepat sehingga diperlukan tindakan pengendalian bukan hanya ketika sudah ada tetapi seharusnya juga perlu diantisipasi sebelum ada? Lebih-lebih pada era globalisasi dan pasar bebas, cara berpikir yang cenderung sangat lokal ini perlu ditinjau kembali.
PHT memang perlu senantiasa dikritisi karena dengan cara begitu maka PHT dapat berkembang. Dalam sejarah penerapannya, PHT berkembang setidak-tidaknya dalam tiga fase penting:
- PHT ambang ekonomi (PHT-AE), yaitu fase PHT sebagai ‘pengendalian hama terpadu’ yang pengambilan keputusannya dilakukan untuk menentukan apakah aplikasi pestisida perlu dilakukan atau belum dengan membandingkab padat populasi OPT hasil pemantatau dengan AE.
- PHT sekolah lapang (PHT-SL), yaitu fase PHT yang diorganisasikan oleh pihak luar (pemerintah, LSM) dengan pengambilan keputusan yang dilakukan berbasis keputusan oleh petani sendiri yang telah ‘diberdayakan’ untuk melakukan pengambilan keputusan melalui sekolah lapang.
- PHT masyarakat (PHT komunitas), yaitu fase PHT yang berkembang melalui penyadaran masyarakat untuk mampu mengorganisasikan diri dalam melaksanakan PHT. Penyadaran mula-mula dapat dilakukan oleh pihak luar tetapi segala sesuatu yang berkaitan dengan perlindungan tanaman selanjutnya dilakukan oleh masyarakat sendiri.
Pada dua fase perkembangan PHT yang terakhir (fase 2 dan fase 3), pengambilan keputusan dapat dilakukan dengan berbasis pada pengambilan keputusan oleh petani maupun pengambilan keputusan berbasis sistem pakar. Perkembangan fase-fase PHT tersebut sekaligus mereflesikan berbagai kekurangan PHT yang senantiasa terus disempurnakan seiring dengan perkembangan.
Latihan
Jenis sayuran apakah yang biasanya dikonsumsi di rumah masing-masing? Tanyakan kepada ibu atau siapa saja yang biasa pergi berbelanja keperluan sehari-hari di pasar, bagaimana memilih sayuran yang baik. Apakah lebih baik memilih sayuran yang ada lubang berkas dimakan serangga atau yang tidak ada kerusakan sama sekali? Renungkan pertanyaan ini dengan mengaitkan uraian pada kegiatan belajar ini dengan kegiatan belajar 2 pada Modul 2.
Rangkuman
PHT mempunyai banyak kelebihan, tetapi juga tidak luput dari kekurangan dalam pelaksanaannya. Kesuksesan Indonesia dalam melaksanakan PHT, khususnya PHT-SL, telah mendapat pengakuan dunia. Namun demikian, kesuksesan tersebut sebenarnya bukan tanpa cacat. Kekurangan PHT, terutama dalam pelaksanaannya tersebut, terus diperbaiki sehingga PHT berkembang dari PHT-AE menjadi PHT-SL dan akhirnya PHT masarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Untuk menyampaikan komentar, silahkan ketik dalam kotak di bawah ini