Selama ini, setiap terjadi kerusakan tanaman maka yang dituding sebagai penyebabnya selalu OPT, entah itu binatang hama, patogen, atau gulma. Oleh karena itu, mempelajari perlindungan tanaman selalu dilakukan dengan mempelajari biologi OPT. Kurikulum PS/Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan atau Perlindungan Tanaman biasanya dijejali dengan matakuliah-matakuliah berdimensi biologi, katakanlah misalnya entomologi, mikologi, bakteriologi, dan seterusnya. Kemudian, mengatasi permasalahan perlindungan tanaman dipandang dapat dilakukan dengan hanya menggunakan teknologi. Karena itu pula, kurikulum PS/Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan atau Perlindungan Tanaman juga memuat anyak matakuliah berdimensi teknologi.
Berbagai hasil penelitian mutakhir menunjukkan, permasalahan perlindungan tanaman sebenarnya bukan sekedar permasalahan biologi dan teknologi. Upaya untuk mengatasi permasalahan perlindungan tanaman juga tidak cukup dilakukan hanya dengan menggunakan pendekatan biologi dan teknologi. Sebagai contoh adalah permasalahan kemunduran jeruk keprok soe (JKS). Banyak penelitian menunjukkan kemunduran JKS tersebut disebabkan oleh penyakit CVPD yang di dunia internasional sekarang dikenal dengan nama huanglongbing (HLB). Akan tetapi, pemerintah bersikukuh bahwa CVPD bukan penyebab kemunduran tersebut, melainkan penyakit diplodia. Penyakit diplodia memang ada, tetapi dengan begitu bukan berarti penyakit CVPD tidak ada.
Bukti-bukti mengenai keberadaan penyakit CVPD selalu dibantah. Kebijakan yang diambil adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan penyakit ini harus melalui satu pintu, yaitu pintu pemerintah. Argumentasinya, kalau ada pihak lain yang menyatakan bahwa JKS sudah positif terkena CVPD, sepanjang belum melalui pintu pemerintah, maka temuan tersebut dianggap sah. Kebenaran menjadi monopoli penguasa. Tetapi CVPD tidak sama dengan orang miskin yang kalau tidak mempunyai KTP tidak bisa memperoleh BLT atau Raskin. CVPD malah berterima kasih sudah dinyatakan tidak ada. Sebab dengan begitu maka CVPD dapat menyebar tanpa ada yang mengetahui.
Menurut pemerintah, untuk mengatasi permasalahan penyakit CVPD ini telah ditetapkan peraturan daerah. Peraturan daerah tersebut antara lain mengatur mengenai larangan pemasukan bibit jeruk dari luar daerah. Hanya saja, barangkali karena saking terlalu sibuk, para pejabat tidak sempat menonton berita TV. Jangankan bakteri penyebab CVPD yang begitu renik, Gayus sang mafia pajak saja dapat menembus berbagai peraturan. Lalu siapa berani menjamin CVPD tidak dapat diam-diam masuk dari luar meskipun telah ada Perda?
Maka kalau kemudian CVPD menghancurkan JKS, penyebab kehancuran JKS tersebut sebenarnya bukanlah hanya CVPD. Melainkan juga kebijakan yang membiarkan CVPD dapat menyebar diam-diam. Kebijakan pemerintah selama ini hanya menyuruh petani menanam JKS tanpa pernah memberitahu risiko yang dihadapi, padahal dengan menanam JKS dalam skala besar maka risiko tertular CVPD dengan sendirinya akan menjadi bertambah. Apalagi bila bibit yang digunakan disiapkan sekenanya, demi bisnis penangkaran milik oknum pejabat yang ternyata meraup untung jauh lebih besar daripada bisnis buah JKS. Mengapa bisa? Para oknum tersebut membeli bibit okulasi dari penangkar dengan harga tawar menawar dan kemudian, untuk memenuhi target program pembagian bibit kepada petani, menjualnya dengan harga proyek.
Maka jangan kemudian heran mengapa para oknum itu begitu mati-matian bertahan bahwa JKS masih bebas CVPD. Sebab sesuai dengan aturan yang benar, kalau JKS sudah positif terkena CVPD maka bisnis bibit dengan sendirinya harus ditutup. Tentu saja mereka tidak mau kehilangan peluang bisnis itu, meskipun pada akhirnya JKS akan hancur.
Berbagai hasil penelitian mutakhir menunjukkan, permasalahan perlindungan tanaman sebenarnya bukan sekedar permasalahan biologi dan teknologi. Upaya untuk mengatasi permasalahan perlindungan tanaman juga tidak cukup dilakukan hanya dengan menggunakan pendekatan biologi dan teknologi. Sebagai contoh adalah permasalahan kemunduran jeruk keprok soe (JKS). Banyak penelitian menunjukkan kemunduran JKS tersebut disebabkan oleh penyakit CVPD yang di dunia internasional sekarang dikenal dengan nama huanglongbing (HLB). Akan tetapi, pemerintah bersikukuh bahwa CVPD bukan penyebab kemunduran tersebut, melainkan penyakit diplodia. Penyakit diplodia memang ada, tetapi dengan begitu bukan berarti penyakit CVPD tidak ada.
Bukti-bukti mengenai keberadaan penyakit CVPD selalu dibantah. Kebijakan yang diambil adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan penyakit ini harus melalui satu pintu, yaitu pintu pemerintah. Argumentasinya, kalau ada pihak lain yang menyatakan bahwa JKS sudah positif terkena CVPD, sepanjang belum melalui pintu pemerintah, maka temuan tersebut dianggap sah. Kebenaran menjadi monopoli penguasa. Tetapi CVPD tidak sama dengan orang miskin yang kalau tidak mempunyai KTP tidak bisa memperoleh BLT atau Raskin. CVPD malah berterima kasih sudah dinyatakan tidak ada. Sebab dengan begitu maka CVPD dapat menyebar tanpa ada yang mengetahui.
Menurut pemerintah, untuk mengatasi permasalahan penyakit CVPD ini telah ditetapkan peraturan daerah. Peraturan daerah tersebut antara lain mengatur mengenai larangan pemasukan bibit jeruk dari luar daerah. Hanya saja, barangkali karena saking terlalu sibuk, para pejabat tidak sempat menonton berita TV. Jangankan bakteri penyebab CVPD yang begitu renik, Gayus sang mafia pajak saja dapat menembus berbagai peraturan. Lalu siapa berani menjamin CVPD tidak dapat diam-diam masuk dari luar meskipun telah ada Perda?
Maka kalau kemudian CVPD menghancurkan JKS, penyebab kehancuran JKS tersebut sebenarnya bukanlah hanya CVPD. Melainkan juga kebijakan yang membiarkan CVPD dapat menyebar diam-diam. Kebijakan pemerintah selama ini hanya menyuruh petani menanam JKS tanpa pernah memberitahu risiko yang dihadapi, padahal dengan menanam JKS dalam skala besar maka risiko tertular CVPD dengan sendirinya akan menjadi bertambah. Apalagi bila bibit yang digunakan disiapkan sekenanya, demi bisnis penangkaran milik oknum pejabat yang ternyata meraup untung jauh lebih besar daripada bisnis buah JKS. Mengapa bisa? Para oknum tersebut membeli bibit okulasi dari penangkar dengan harga tawar menawar dan kemudian, untuk memenuhi target program pembagian bibit kepada petani, menjualnya dengan harga proyek.
Maka jangan kemudian heran mengapa para oknum itu begitu mati-matian bertahan bahwa JKS masih bebas CVPD. Sebab sesuai dengan aturan yang benar, kalau JKS sudah positif terkena CVPD maka bisnis bibit dengan sendirinya harus ditutup. Tentu saja mereka tidak mau kehilangan peluang bisnis itu, meskipun pada akhirnya JKS akan hancur.
Mantaps Broo Info nya.
BalasHapusGue demen bgt. Sukses ya Broo . . .