Sesuai dengan sistem hukum yang berlaku di Indonesia, kebijakan pemerintah perlu selalu harus mempunyai dasar hukum. Demikian juga dengan kebijakan dalam bidang perlindungan tanaman. Dengan menggunakan dasar pemikiran demikian, mempelajari kebijakan perlindungan tanaman perlu dimulai dengan mempelajari peraturan perundang-undangan dalam bidang perlindungan tanaman atau yang berkaitan dengan perlindungan tanaman. Tentu saja, karena perlindungan tanaman merupakan bagian dari pertanian, pertanyaan yang pertama-tama harus diajukan adalah apakah ada peraturan perundang-undangan mengenai pertanian yang di dalamnya diharapkan memuat ketentuan mengenai perlindungan tanaman? Jawabannya, bisa ya bisa tidak.
Jawaban ya dapat diberikan bila UU No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman dipandang sebagai undang-undang payung pertanian. Akan tetapi ini tidak mungkin, karena dalam lingkup sektor pertanian masih terdapat undang-undang tentang karantina (UU No. 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan), perkebunan (UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan), dan peternakan (UU No. 18 Tahun 2004 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan). Sesuai dengan tata urut peraturan perundang-undangan yang berlaku, satu undang-undang tidak dapat menjadi payung bagi undang-undang lainnya. Bila demikian, maka jawaban atas pertanyaan tentu saja menjadi tidak. Dapat kemudian dibayangkan, kerumitan apa yang dihadapi bila satu sektor yang pada tingkat operasional ditangani oleh seorang petani itu harus diatur oleh beberapa undang-undang yang berbeda yang masing-masing berdiri sendiri-sendiri.
Itu baru mengenai struktur, bagaimana dengan substansinya? Berkaitan dengan perlindungan tanaman diperkenalkan istilah baru organisme pengganggu tumbuhan yang kini populer disingkat OPT. Pada pihak lain, UU No. 12 Tahun 1992 menyatakan bahwa perlindungan tanaman didasarkan atas sistem pengendalian hama terpadu (PHT). Pertanyaan yang kemudian timbul adalah apakah OPT dan hama merupakan dua hal yang berbeda atau sama? Kalau sama mengapa harus dibuatkan istilah yang berbeda dan kalau berbeda mengapa tidak dijelaskan dengan gamblang apa perbedaannya? OPT didefinisikan sebagai semua organisme yang dapat merusak, mengganggu kehidupan, atau menyebabkan kematian tumbuhan. Lalat puru Procecidochares connexa sengaja diintroduksi ke Indonesia untuk merusak, mengganggu kehidupan, atau menyebabkan kematian gulma Chromolaena odorata. Menyimak definisi OPT di atas, tidaklah keliru kalau disimpulkan bahwa P. connexa, per definisi OPT, dapat digolongkan sebagai OPT. Padahal seharusnya tidak demikian, sebab yang merupakan OPT adalah C. odorata.
Kalau untuk tanaman dibuat istilah OPT, mengapa untuk hewan dan ikan tetap digunakan istilah hama dan penyakit? Simaklah UU No. 16 Tahun 1992, maka bisa kemudian dimengerti betapa memahami peraturan perundang-undangan menjadi sulit karena istilah yang digunakan saja ternyata tidak konsisten. Nama UU ini saja misalnya, mengapa tidak Karantina Pertanian saja alih-alih Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan? Tapi begitulah adanya, kalau masih dapat dibuat rumit mengapa harus dibiarkan sederhana? Bukankah kalau rumit memungkinkan celah untuk dilanggar? Karena itu, membaca peraturan perundang-undangan perlu dilakukan secara kritis sebagaimana dibahas pada Kegiatan Belajar 3 Modul 2 matakuliah Kebijakan Perlindungan Tanaman ini.
Jawaban ya dapat diberikan bila UU No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman dipandang sebagai undang-undang payung pertanian. Akan tetapi ini tidak mungkin, karena dalam lingkup sektor pertanian masih terdapat undang-undang tentang karantina (UU No. 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan), perkebunan (UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan), dan peternakan (UU No. 18 Tahun 2004 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan). Sesuai dengan tata urut peraturan perundang-undangan yang berlaku, satu undang-undang tidak dapat menjadi payung bagi undang-undang lainnya. Bila demikian, maka jawaban atas pertanyaan tentu saja menjadi tidak. Dapat kemudian dibayangkan, kerumitan apa yang dihadapi bila satu sektor yang pada tingkat operasional ditangani oleh seorang petani itu harus diatur oleh beberapa undang-undang yang berbeda yang masing-masing berdiri sendiri-sendiri.
Itu baru mengenai struktur, bagaimana dengan substansinya? Berkaitan dengan perlindungan tanaman diperkenalkan istilah baru organisme pengganggu tumbuhan yang kini populer disingkat OPT. Pada pihak lain, UU No. 12 Tahun 1992 menyatakan bahwa perlindungan tanaman didasarkan atas sistem pengendalian hama terpadu (PHT). Pertanyaan yang kemudian timbul adalah apakah OPT dan hama merupakan dua hal yang berbeda atau sama? Kalau sama mengapa harus dibuatkan istilah yang berbeda dan kalau berbeda mengapa tidak dijelaskan dengan gamblang apa perbedaannya? OPT didefinisikan sebagai semua organisme yang dapat merusak, mengganggu kehidupan, atau menyebabkan kematian tumbuhan. Lalat puru Procecidochares connexa sengaja diintroduksi ke Indonesia untuk merusak, mengganggu kehidupan, atau menyebabkan kematian gulma Chromolaena odorata. Menyimak definisi OPT di atas, tidaklah keliru kalau disimpulkan bahwa P. connexa, per definisi OPT, dapat digolongkan sebagai OPT. Padahal seharusnya tidak demikian, sebab yang merupakan OPT adalah C. odorata.
Kalau untuk tanaman dibuat istilah OPT, mengapa untuk hewan dan ikan tetap digunakan istilah hama dan penyakit? Simaklah UU No. 16 Tahun 1992, maka bisa kemudian dimengerti betapa memahami peraturan perundang-undangan menjadi sulit karena istilah yang digunakan saja ternyata tidak konsisten. Nama UU ini saja misalnya, mengapa tidak Karantina Pertanian saja alih-alih Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan? Tapi begitulah adanya, kalau masih dapat dibuat rumit mengapa harus dibiarkan sederhana? Bukankah kalau rumit memungkinkan celah untuk dilanggar? Karena itu, membaca peraturan perundang-undangan perlu dilakukan secara kritis sebagaimana dibahas pada Kegiatan Belajar 3 Modul 2 matakuliah Kebijakan Perlindungan Tanaman ini.
Mantaps Broo Info nya.
BalasHapusGue demen bgt. Sukses ya Broo . . .