Pasal 20 Ayat (1) UU No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman menyatakan bahwa "Perlindungan tanaman dilaksanakan dengan sistem pengendalian hama terpadu. Penjelasan Pasal 20 Ayat (1) UU tersebut menyatakan "Sistem pengendalian hama terpadu adalah upaya pengendalian populasi atau tingkat serangan organisme pengganggu tumbuhan dengan menggunakan satu atau lebih dari berbagai teknik pengendalian yang dikembangkan dalam suatu kesatuan, untuk mencegah timbulnya kerugian secara ekonomis dan kerusakan lingkungan hidup. Dalam sistem ini penggunaan pestisida merupakan alternatif terakhir. Pengendalian organisme pengganggu tumbuhan bersifat dinamis." Tulisan ini menyajikan latar belakang, konsep, dan hakekat PHT secara teknis sebagai dasar untuk memahami ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut.
Uraian
Sejak 1968 pemerintah Indonesia meluncurkan program bimbingan masal (BIMAS) sebagai upaya peningkatan produksi padi melalui penggunaan bibit unggul berdaya hasil tinggi, pengolahan tanah, pengairan, pemupukan, dan penggunaan pestisida yang ketika itu disebut ‘obat hama’. Berikut adalah sebuah kutipan mengenai upaya pemerintah tersebut:
BIMAS berhasil meningkatkan produksi sampai sebesar tiga kali. Lonjakan produksi ini berhasil dicapai melalui penggunaan varietas unggul berdaya hasil tinggi, pupuk kimia, dan pestisida. Ketika itu ‘revolusi hijau’ sedang pada puncak masa kejayaannya dan ekologi belum berkembang seperti sekarang.
Penggunaan varietas unggul serta pupuk kimia dan pestisida secara berlebihan menorong terjadinya ledakan wereng cokelat yang merupakan vektor penyakit tungro. Varietas unggul berdaya hasil tinggi rentan terhadap wereng cokelat dan tungro. Untuk mengatasi ledakan hama ini varietas unggul baru yang tahan terhadap wereng cokelat (dikenal sebagai varietas unggul tahan wereng, VUTW) dikeluarkan dan pestisida digunakan semakin intensif. Namun setiap kali dihasilkan varietas baru, dalam waktu yang tidak terlalu lama muncul wereng cokelat wereng cokelat biotipe baru yang dapat mematahkan ketahanan VUTW. Pestisida pun harus digunakan semakin banyak tetapi ledakan populasi wereng cokelat terus saja terjadi. Ledakan wereng cokelat terjadi lambat pada saat menjelang panen sehingga seluruh biaya telah dikeluarkan petani, menyebabkan kerugian menjadi semakin besar.
Sejak 1977 Peter Kenmore, seorang mahasiswa S3 University of California Berkeley yang mendapat beasiswa Rockefeller, mulai meneliti ekologi wereng cokelat di IRRI. Dia menemukan bahwa terdapat faktor pembunuh alami yang menyebabkan populasi hama-hama lainnya rendah. Pada ekosistem sawah, dia menemukan (sebenarnya sudah ditemukan 15 tahun sebelumnya di Jepang, bahwa terdapat laba-laba, capung, berbagai jenis kumbang dan berbagai serangga parasitodi yang merusakkan telur, nimfa, dan imago wereng cokelat. Penggunaan pestisida, selain mendorong munculnya biotipe wereng baru, justeru mematikan musuh alami tersebut sehingga menyebabkan terjadinya resurgensi hama sasaran dan ledakan hama sekunder. Temuan ini kurang mendapatkan perhatian, bahkan di IRRI sendiri. IRRI terus sibuk berpacu menghasilkan VUTW baru setiap kali VUTW yang sudah ada dipatahkan ketahanannya oleh wereng cokelat biotipe baru. Ledakan wereng cokelat terjadi dengan interval teratur yang oleh pemulia tanaman disebut ‘boom and bust’ karena VUTW tahan hanya sementara untuk kemudian ketahanannya lenyap begitu muncul wereng cokelat biotipe baru.
(a) (b) (c)
Gambar 3.1. Pestisida dan wereng cokelat: (a) Aplikasi pestisida secara terjadwal pada masa pra-PHT, (b) Nimfa dan imago wereng cokelat menggerombol pada pangkal rumpun padi, dan (c) tanaman padi mengering setelah diserang wereng cokelat. Gambar (c) adalah tanaman padi di persawahan PT Sanghyang Seri dan BB Padi Sukamandi yang juga tidak luput dari serangan OPT tersebut (http://www.kabarindonesia.com/ foto.php?jd=Tanaman+Padi+Kering+Diserang+Hama+Wereng+Coklat&pil=20100525221009)
Penelitian mengenai ekologi wereng cokelat di Indonesia dilakukan of Ida Nyoman Oka dari Deptan (sekarang Kementan) dan Kasumbogo Untung dari UGM awal 1980-an. Ketika pada 1985 terjadi lagi ledakan wereng cokelat, seorang staf Depkeu (sekerang Kemenkeu) mengingatkan Menkeu ketika itu bahwa subsidi pestisida sudah terlalu besar dan oleh karena itu perlu dicari cara untuk mengurangi penggunaan pestisida. Menkeu melaporkan hal ini kepada Presiden Soeharto yang kemudian, dengan mendasarkan pada hasil-hasil penelitian mengenai ekologi wereng cokelat yang dilakukan di Indonesia (dengan dukungan Dr. K. Sogawa, seorang pakar evoluasi wereng cokelat ternama dari Jepang), mendorong dikeluarkannya Instruksi Presiden (Inpres) No. 3 Tahun 1986 tentang Peningkatan Pengendalian Hama Wereng pada Tanaman Padi yang mncabut ijin dan melarang peredaran 57 jenis pestisida. Inpres ini merupakan tonggak awal PHT di Indonesia karena pada 1989 dicanangkan Program Nasional PHT dengan dukungan Program Antar-Negara PHT Padi FAO (dipimpin oleh Peter Kenmore) Program Nasional tersebut ditangani langsung oleh BAPPENAS yang memungkinkan Indonesia menjadi negara berkembang yang dinilai dunia sebagai berhasil menerapkan PHT.
Dengan latar belakang sebagaimana yang telah diuraikan, apakah sebenarnya PHT itu? Menurut Untung (2007), PHT yang dalam peraturan perundang-undangan disebutkan sebagai ‘pengendalian hama terpadu’ sebenarnya adalah ‘pengelolaan hama terpadu’, dua konsep yang sebenarnya berbeda tetapi saling berkaitan. Dasar ilmiah ‘pengendalian hama terpadu’ dikembangkan oleh para peneliti Universitas Kalifornia di Bekeley dan di Riverside selama kurang lebih 10 tahun sebelum kemudian diadopsi pada sebuah simposium yang disponsori FAO pada 1965. Pada simposium tersebut, ‘pengendalian hama terpadu’ diartikan sebagai pemaduan cara pengendalian kimiawi dan hayati:
Program pengembangan PHT tanaman padi di Asia yang dimulai oleh FAO pada 1980 terdiri atas empat fase sebagai berikut:
PHT pada hakekatnya merupakan sebuah paradigma baru perlindungan tanaman bahwa OPT merupakan bagian tidak terpisahkan dari ekosistem pertanian (agro-ekosistem). Sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari agroekosistem, keberadaan OPT tidak dapat benar-benar dihindarkan melainkan sampai batas-batas tertentu perlu ditoleransi untuk memungkinkan terjaganya proses ekologis jejaring makanan karena OPT merupakan sumber makanan bagi berbagai jenis organisme lain yang menggunakan OPT sebagai sumber makanannya yang dalam konteks perlindungan tanaman dikenal sebagai musuh alami. Penggunaan cara pengendalian untuk membasmi OPT berarti pada saat yang sama juga membasmi musuh alami sehingga proses ekologis menjadi terganggu sehingga populasi OPT memperoleh kesempatan untuk meledak. Oleh karena itu, PHT berbeda dengan perlindungan tanaman sebelumnya, tidak dimaksudkan untuk membasmi OPT, kecuali bila memang diperlukan, melainkan untuk menurunkan populasi sehingga tidak menimbulkan kerusakan yang merugikan. Dengan demikian, PHT tidak dimaksudkan sekedar untuk memaksimalkan produksi pertanian, melainkan lebih untuk mewujudkan pertanian berkelanjutan. Dalam pertanian berkelanjutan, produktivitas, yaitu produksi per satuan luas, perlu dijaga keseimbangannya dengan stabilitas, yaitu fluktuasi produksi, kemerataan, yaitu distribusi produksi dalam masyarakat, dan kemandirian, yaitu kemampuan petani dan masyarakat pada umumnya untuk menggunakan sumberdaya milik sendiri secara efektif dan efisien.
Latihan
PHT merupakan aspek penting dalam pembangunan pertanian berkelanjutan. Keberlanjutan pertanian antara lain ditentukan oleh kinerja tingkat produksi, kestabilan ekosistem, kemerataan sumberdaya dan hasil, dan kemnadirian petani. Pikirkan dengan kritis, di antara kinerja tersebut, dengan kinerja manakah PHT sangat terkait dalam mewujudkan pertanian berkelanjutan.
Rangkuman
Penerapan PHT di Indonesia dilatarbelakangi oleh ledakan wereng cokelat yang terjadi secara berulang sehingga mengancam ketahanan pangan. Penerapan PHT sejak 1989 melalui Program Nasional PHT telah memungkinkan Indonesia menjadi negara berkembang yang diakui dunis sukses dalam menerapkan PHT. PHT berkembang dari konsep ‘pengendalian hama terpadu’ menjadi ‘pengelolaan hama terpadu’. Dewasa ini, PHT bermakna lebih dari sekedar penggabungan satu atau dua cara pengendalian, melainkan merupakan sistem pendukung pengambilan keputusan untuk pemilihan dan penggunaan taktik pengendalian hama untuk mewujudkan pertanian berkelanjutan.
Uraian
Sejak 1968 pemerintah Indonesia meluncurkan program bimbingan masal (BIMAS) sebagai upaya peningkatan produksi padi melalui penggunaan bibit unggul berdaya hasil tinggi, pengolahan tanah, pengairan, pemupukan, dan penggunaan pestisida yang ketika itu disebut ‘obat hama’. Berikut adalah sebuah kutipan mengenai upaya pemerintah tersebut:
Indonesia began the BIMAS rice intensification p rogramme in 1968 and since then there have been great increases in their total yields and overall production -overall an increase of more than three times. Most of this was due to better irrigation, shorter duration varieties and credit support for purchasing chemical fertiliser. Along with intensification were subsidies for certain inputs such as fertilisers and pesticides. The general belief in the 1960s was that more agrochemical inputs - both fertiliser and pesticides - meant higher yields and production. The government had funds from oil and was able to spend large sums of money on these inputs. In the year between 1976 and 1980 the subsidies for pesticides were over US$ 50 million per year and between 1981 and 1988 they exceeded US$ 150 million per year.
BIMAS berhasil meningkatkan produksi sampai sebesar tiga kali. Lonjakan produksi ini berhasil dicapai melalui penggunaan varietas unggul berdaya hasil tinggi, pupuk kimia, dan pestisida. Ketika itu ‘revolusi hijau’ sedang pada puncak masa kejayaannya dan ekologi belum berkembang seperti sekarang.
Penggunaan varietas unggul serta pupuk kimia dan pestisida secara berlebihan menorong terjadinya ledakan wereng cokelat yang merupakan vektor penyakit tungro. Varietas unggul berdaya hasil tinggi rentan terhadap wereng cokelat dan tungro. Untuk mengatasi ledakan hama ini varietas unggul baru yang tahan terhadap wereng cokelat (dikenal sebagai varietas unggul tahan wereng, VUTW) dikeluarkan dan pestisida digunakan semakin intensif. Namun setiap kali dihasilkan varietas baru, dalam waktu yang tidak terlalu lama muncul wereng cokelat wereng cokelat biotipe baru yang dapat mematahkan ketahanan VUTW. Pestisida pun harus digunakan semakin banyak tetapi ledakan populasi wereng cokelat terus saja terjadi. Ledakan wereng cokelat terjadi lambat pada saat menjelang panen sehingga seluruh biaya telah dikeluarkan petani, menyebabkan kerugian menjadi semakin besar.
Sejak 1977 Peter Kenmore, seorang mahasiswa S3 University of California Berkeley yang mendapat beasiswa Rockefeller, mulai meneliti ekologi wereng cokelat di IRRI. Dia menemukan bahwa terdapat faktor pembunuh alami yang menyebabkan populasi hama-hama lainnya rendah. Pada ekosistem sawah, dia menemukan (sebenarnya sudah ditemukan 15 tahun sebelumnya di Jepang, bahwa terdapat laba-laba, capung, berbagai jenis kumbang dan berbagai serangga parasitodi yang merusakkan telur, nimfa, dan imago wereng cokelat. Penggunaan pestisida, selain mendorong munculnya biotipe wereng baru, justeru mematikan musuh alami tersebut sehingga menyebabkan terjadinya resurgensi hama sasaran dan ledakan hama sekunder. Temuan ini kurang mendapatkan perhatian, bahkan di IRRI sendiri. IRRI terus sibuk berpacu menghasilkan VUTW baru setiap kali VUTW yang sudah ada dipatahkan ketahanannya oleh wereng cokelat biotipe baru. Ledakan wereng cokelat terjadi dengan interval teratur yang oleh pemulia tanaman disebut ‘boom and bust’ karena VUTW tahan hanya sementara untuk kemudian ketahanannya lenyap begitu muncul wereng cokelat biotipe baru.
(a) (b) (c)
Gambar 3.1. Pestisida dan wereng cokelat: (a) Aplikasi pestisida secara terjadwal pada masa pra-PHT, (b) Nimfa dan imago wereng cokelat menggerombol pada pangkal rumpun padi, dan (c) tanaman padi mengering setelah diserang wereng cokelat. Gambar (c) adalah tanaman padi di persawahan PT Sanghyang Seri dan BB Padi Sukamandi yang juga tidak luput dari serangan OPT tersebut (http://www.kabarindonesia.com/ foto.php?jd=Tanaman+Padi+Kering+Diserang+Hama+Wereng+Coklat&pil=20100525221009)
Penelitian mengenai ekologi wereng cokelat di Indonesia dilakukan of Ida Nyoman Oka dari Deptan (sekarang Kementan) dan Kasumbogo Untung dari UGM awal 1980-an. Ketika pada 1985 terjadi lagi ledakan wereng cokelat, seorang staf Depkeu (sekerang Kemenkeu) mengingatkan Menkeu ketika itu bahwa subsidi pestisida sudah terlalu besar dan oleh karena itu perlu dicari cara untuk mengurangi penggunaan pestisida. Menkeu melaporkan hal ini kepada Presiden Soeharto yang kemudian, dengan mendasarkan pada hasil-hasil penelitian mengenai ekologi wereng cokelat yang dilakukan di Indonesia (dengan dukungan Dr. K. Sogawa, seorang pakar evoluasi wereng cokelat ternama dari Jepang), mendorong dikeluarkannya Instruksi Presiden (Inpres) No. 3 Tahun 1986 tentang Peningkatan Pengendalian Hama Wereng pada Tanaman Padi yang mncabut ijin dan melarang peredaran 57 jenis pestisida. Inpres ini merupakan tonggak awal PHT di Indonesia karena pada 1989 dicanangkan Program Nasional PHT dengan dukungan Program Antar-Negara PHT Padi FAO (dipimpin oleh Peter Kenmore) Program Nasional tersebut ditangani langsung oleh BAPPENAS yang memungkinkan Indonesia menjadi negara berkembang yang dinilai dunia sebagai berhasil menerapkan PHT.
Dengan latar belakang sebagaimana yang telah diuraikan, apakah sebenarnya PHT itu? Menurut Untung (2007), PHT yang dalam peraturan perundang-undangan disebutkan sebagai ‘pengendalian hama terpadu’ sebenarnya adalah ‘pengelolaan hama terpadu’, dua konsep yang sebenarnya berbeda tetapi saling berkaitan. Dasar ilmiah ‘pengendalian hama terpadu’ dikembangkan oleh para peneliti Universitas Kalifornia di Bekeley dan di Riverside selama kurang lebih 10 tahun sebelum kemudian diadopsi pada sebuah simposium yang disponsori FAO pada 1965. Pada simposium tersebut, ‘pengendalian hama terpadu’ diartikan sebagai pemaduan cara pengendalian kimiawi dan hayati:
... applied pest control which combines and integrates biological and chemical control. Chemical control is used as necessary and in a manner which is least disruptive to biological control. Integrated control may make use of naturally occurring biological control as well as biological control effected by manipulated or induced biotic agents’. (Stern et al. 1959)Sementara itu, istilah pengelolaan hama terpadu’ diusulkan pertama kali sebenarnya oleh pakar ekologi Australia P.W. Geier dan L.R. Clark pada 1961. Istilah ‘pengelolaan hama terpadu’ tersebut mulai mendapat lebih banyak perhatian di AS sejak sejak publikasi artikel pada Annual Review of Entomology article in 1966, laporan National Academy of Science (NAS) pada 1969, dan prosiding konferensi di North Carolina yang menghadirkan pakar dari Australia. Istilah ‘pengendalian hama terpadu’ sebagaimana yang sekarang digunakan, digunakan pertama kali pada 1998 oleh M. Kogan. Menurut Kogan, ‘pengelolaan hama terpadu’ merupakan:
... a decision support system for the selection and use of pest control tactics, singly or harmoniously coordinated into a management strategy, based on cost/benefit analyses that take into account the interests of and impacts on producers, society, and the environment (Kogan, 1998).Terdapat banyak sekali definisi mengenai ‘pengelolaan hama terpadu’ dan dipublikasikan oleh Waheed I. Bajwa and Marcos Kogan (2002). Namun demikian, PHT sebenarnya adalah sistem pendukung pengambilan keputusan untuk pemilihan dan penggunaan taktik pengendalian hama. Dalam hal ini hama diartikan dalam pengertian yang luas, mencakup binatang hama, patogen, dan gulma pada hewan, ikan, dan tanaman, bahkan pada fasilitas umum dan lingkungan hidup. Dengan demikian jelas bahwa PHT bukan sekedar pemaduan satu atau lebih cara pengendalian sebagaimana yang didefinisikan dalam UU No. 12 Tahun 1992 tentang Perlindungan Tanaman.
Program pengembangan PHT tanaman padi di Asia yang dimulai oleh FAO pada 1980 terdiri atas empat fase sebagai berikut:
- Phase I (1980 to 1987) This phase focused upon the verification of IPM technology and the development of pilot extension activities with farmers plus ‘strategic extension campaigns’ to promote IPM understanding and application.
- Phase II (1987 to 1993) The second phase of the programme emphasized on a shift towards human resource development and saw the introduction of season long training of trainers programmes and the now well known ‘IPM Farmer Field School’ approach. This approach was successful in bring IPM to hundreds of thousands of farmers for the first time.
- Phase III (1993 to 2000) During this phase the programme focused upon the development of national IPM programmes based upon season long training and farmer field schools. This period also saw the development of various ‘farmer led’ activities including farmer to farmer training, farmer-led research, action research, health impacts research and other innovative programmes. Large scale national programmes began in numerous countries, such as Indonesia, India, Viet Nam, and Cambodia.
- Phase IV The current, and last, phase of the programme is called Community IPM due to the emphasis upon ‘IPM by Farmers”. In this phase farmers have been the focus for a broad range of activities in member countries. The programme has also succeeded in starting new, and innovative, national IPM programmes in several member countries such as Nepal and China.
PHT pada hakekatnya merupakan sebuah paradigma baru perlindungan tanaman bahwa OPT merupakan bagian tidak terpisahkan dari ekosistem pertanian (agro-ekosistem). Sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari agroekosistem, keberadaan OPT tidak dapat benar-benar dihindarkan melainkan sampai batas-batas tertentu perlu ditoleransi untuk memungkinkan terjaganya proses ekologis jejaring makanan karena OPT merupakan sumber makanan bagi berbagai jenis organisme lain yang menggunakan OPT sebagai sumber makanannya yang dalam konteks perlindungan tanaman dikenal sebagai musuh alami. Penggunaan cara pengendalian untuk membasmi OPT berarti pada saat yang sama juga membasmi musuh alami sehingga proses ekologis menjadi terganggu sehingga populasi OPT memperoleh kesempatan untuk meledak. Oleh karena itu, PHT berbeda dengan perlindungan tanaman sebelumnya, tidak dimaksudkan untuk membasmi OPT, kecuali bila memang diperlukan, melainkan untuk menurunkan populasi sehingga tidak menimbulkan kerusakan yang merugikan. Dengan demikian, PHT tidak dimaksudkan sekedar untuk memaksimalkan produksi pertanian, melainkan lebih untuk mewujudkan pertanian berkelanjutan. Dalam pertanian berkelanjutan, produktivitas, yaitu produksi per satuan luas, perlu dijaga keseimbangannya dengan stabilitas, yaitu fluktuasi produksi, kemerataan, yaitu distribusi produksi dalam masyarakat, dan kemandirian, yaitu kemampuan petani dan masyarakat pada umumnya untuk menggunakan sumberdaya milik sendiri secara efektif dan efisien.
Latihan
PHT merupakan aspek penting dalam pembangunan pertanian berkelanjutan. Keberlanjutan pertanian antara lain ditentukan oleh kinerja tingkat produksi, kestabilan ekosistem, kemerataan sumberdaya dan hasil, dan kemnadirian petani. Pikirkan dengan kritis, di antara kinerja tersebut, dengan kinerja manakah PHT sangat terkait dalam mewujudkan pertanian berkelanjutan.
Rangkuman
Penerapan PHT di Indonesia dilatarbelakangi oleh ledakan wereng cokelat yang terjadi secara berulang sehingga mengancam ketahanan pangan. Penerapan PHT sejak 1989 melalui Program Nasional PHT telah memungkinkan Indonesia menjadi negara berkembang yang diakui dunis sukses dalam menerapkan PHT. PHT berkembang dari konsep ‘pengendalian hama terpadu’ menjadi ‘pengelolaan hama terpadu’. Dewasa ini, PHT bermakna lebih dari sekedar penggabungan satu atau dua cara pengendalian, melainkan merupakan sistem pendukung pengambilan keputusan untuk pemilihan dan penggunaan taktik pengendalian hama untuk mewujudkan pertanian berkelanjutan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Untuk menyampaikan komentar, silahkan ketik dalam kotak di bawah ini